Romansa di Ujung Dermaga Sungai Rhine
Pesta yang meriah, semua orang berdansa mengikuti alunan saksofon dan trompet yang liar tanpa aturan. Paul Tremaine dan orkestranya membawakan lagu Bill de Bateau a` vapeur dengan menggebu-gebu. Tapi musik jazz beraliran bebas ini masih dapat diterima oleh pendengarnya. Tahun 1926 memang memiliki ciri khas berpesta dari petang hingga terang. Tawa dan obrolan kecil menjelajahi atmosfer udara dan orang-orang menikmatinya. Keliaran bukan hanya terdapat dalam permainan musik saja. Ada yang terjun bebas ke kolam putih alabaster dengan pasangannya. Ada juga yang mulai kehilangan kesadaran menuju nirwana.
Bagiku, semua tampak sama. Monoton. Membosankan
sekaligus memuakkan. Kecuali wanita itu. Ia menari di tengah ruangan, di
atasnya lampu besar dimana penari bergantungan. Gaun sutra penuh maniknya
menjuntai panjang di bawah lutut, sesekali melukis di dinding udara. Tatapan
matanya hidup, membara, mengikuti arah trompet. Terdapat hiasan kepala mutiara
yang bersinar di atas rambut dengan gaya marcel wave itu.
Garis simpul tipis dari bibir merah carmine terkesan memikat.
Sarung tangan putih di tangannya berdansa mengangkat gelas Boulevardier yang
ditawari oleh pelayan. Aku memandanginya dari dekat yang terasa jauh.
Aku dihampiri para pelayan yang menawarkan beberapa
kudapan seperti E`claire au Chocolat, Petit fours dan Cane`les.
Pelayan itu juga menawarkan minuman Crème de casiss dan Kir. "Ini bukan saat yang tepat untuk menegak Kir,
lalu mabuk', batinku. Jika aku lengah aku bisa kehilangan wanita itu di antara kerumunan.
Tangan kananku memeluk erat Crème de casiss. Asam dan
hangat menjalar ke dalam tubuhku setelah menyesapnya.
Tiba-tiba musik berubah menjadi lambat. Jam
menunjukkan pukul tengah malam.Musik jazz liar digantikan
musik waltz dengan judul Un Bonheur vide au-dela` du
monde. Sudah menjadi tradisi untuk memainkan lagu ini sebagai pembuka musik
bertempo lambat. Pasangan-pasangan mulai berdansa pelan. Para pemabuk tertidur
di sudut ruangan dan di anak tangga. Penari yang bergantungan di lampu besar
mengayun pelan, pun ikut tertidur pulas. Wanita itu terdiam memandang lantai.
Pandangannya sayu. Ia hanya menyesap sedikit demi sedikit Boulevardier di
genggamannya. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. 'Kemana perginya tatapan
yang nyala membara tadi?' batinku. Kesadaran kembali menyeruak. Tanpa kusadari,
ternyata ia sudah menghilang dari pandanganku.
Ruang terus bergerak dan aku tidak bisa tidak
mencarinya. Kudapati ia berjejalan di antara para penari mabuk yang berada di
pintu mahogani tua, berlomba keluar melewati puluhan botol Kir yang
berserakan. Para penari itu mengibaskan syal besar penuh bulu
mereka sambil tertawa lepas, menghalangi diriku yang ingin mengejarnya. Aku
memutuskan untuk menaiki tangga ke lantai atas, melewati belasan raga yang
terbujur di anak tangga.
Menjelang bayangnya dari balik jendela, aku
memandanginya dari jauh di balkon dengan pemandangan dek dermaga. Lampu
berwarna biru bleu de france menggantung di tiang-tiang.
Wanita itu berdiri di ujung dek memandangi lukisan kota yang terpantulkan
di air arus Sungai Rhine. Ia melihat cincin permata lazuardi yang
tersemat di jari manisnya. Sesekali memegangnya. Ia berbalik arah dan tanpa
disengaja, ia menoleh dan sadar atas keberadaanku yang jauh. Matanya
terbelalak. Aku terdiam. Untuk beberapa saat kami hanya saling memandang.
Tatapan wanita itu membuatku tidak nyaman. Ketidaknyamanan ini mengulang semua
kenangan di masa lalu.
§
Balkon ini tidak pernah sepi. Barangkali beberapa hal penting selalu hadir
menemani ku, seperti, novel Les Mains d’Orlac yang
setia menjadi tempatku menaruh wadah cat, easel, dan kanvas yang terlampau
suci. Musim panas tahun 1920 ini, aku memutuskan untuk melukis pemandangan di
dek dermaga sungai Rhine. Aku menunggu waktu yang tepat untuk memulai. Tak lama
wanita itu datang. ‘Waktu’ yang aku tunggu bukanlah seberapa dalam detik jam
itu memerahkan terbenamnya matahari atau hal lain yang menyempurnakan
lukisanku. Melainkan kedatangan wanita itu. Ia berdiri di tepi dek dermaga
dengan membawa braise berisikan air penuh busa yang kemudian
ia lemparkan ke sungai. Buih-buih busa itu hanyut dengan arus. Ah,
persetan dengan lukisan.
“Josette!” Aku memanggil nama wanita itu. Ia tersentak. Aku berlari
menuruni tangga menuju tempatnya. Ia tampak merapihkan gaun dan rambutnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Monsieur?” tanyanya dengan lugu.
“Berkali-kali aku
bilang, panggil aku Frantz! Sebagai balasannya kau harus menjawab jujur
pertanyaanku. Jika aku dan dirimu sama-sama tenggelam di dalam sungai ini,
apakah kau akan menyelamatkanku?”
Josette memandang
arus sungai lalu menjawab, “Aku akan menyelamatkan diriku terlebih dahulu, Monsieur.
Karena diriku lebih penting dibandingkan orang lain. Sekalipun kau majikanku.”
Aku tertawa mendengar jawabannya yang begitu lugu. “Mengapa kau menjawabnya begitu serius? Lagipula, tak perlu khawatir nyonya manis! Aku akan menyelamatkanmu lebih dulu sebelum dirimu sendiri. Sekarang, ulurkan tanganmu.” lanjutku.
Josette menunduk, menahan senyum yang merekah lebar. Aku tak bisa
menahan tawa. Ia mengulurkan tangannya perlahan.
Aku menenun jari manisnya dengan pita biru lazuardi, melukiskan
ombak samudra biru di tangan kecilnya. “Mulai sekarang kau resmi menjadi
pasanganku. Bersabarlah lima tahun lagi. Aku akan menemukan cara agar kita bisa
bersama selamanya, Josette. Aku berjanji.” ucapku. Josette memandangku tidak
percaya. Matanya seakan meragukan ucapanku.
“Frantz!” Panggil ibuku. Wanita separuh baya dengan gaun hitam obsidian dan syal sutra berwarna senada memanggilku dari atas balkon. “Apa yang kau lakukan dibawah sana? Tinggalkan pelayan itu!" teriak ibuku. Aku mengiyakan dan memandangnya sekali lagi. Simpul senyumnya tidak pernah hilang dari mataku.
“Sampai jumpa,
Josette yang paling kusayangi!” tuturku sambil melambaikan tangan.
§
Aku berdiri memandang orang yang berhamburan di bawah balkon hotelku. Kota Paris memang berbeda. Banyak pasangan yang mabuk berjalan dengan susah payah sembari bernyanyi dengan memekik. Aku merindukannya. Sekarang dia berada jauh dari jangkauanku. Tentu saja, setiap hari aku selalu menulis surat untuknya. Tragisnya, tidak pernah sekalipun aku mendapatkan balasan. Sedang aku berada jauh di Paris ini demi dirinya, memantaskan diri, untuk mencari cara agar bisa bersama dengannya.
Salju pertama di musim dingin tahun 1923 turun menemani pengantar surat memberikan surat dari wanita itu. Surat yang kutunggu-kutunggu selama tiga tahun. Surat dari Josette. Aku membukanya dengan perasaan senang yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pita kecil jatuh dari amplop itu.
Kanvas suci di balkon dermaga, buih-buih busa yang hanyut, hingga
tenunan pita biru di tangan kecilnya hadir kembali dihadapanku. Namun, aku tetap
kehilangan dirinya. Harapan sirna setelah membacanya. Aku tidak sanggup
berdiri. Dadaku terasa
sesak. Air mata membasahi surat dan lukisan ombak samudra kecilku. ‘Tidak,
tidak boleh basah. Ada tangan Josette disini, ada wujud dirinya disini. Tidak
boleh sampai rusak.’ batinku sambil menyekanya. Kaki ini tidak lagi berguna
melawan hati, aku bersimpuh sambil memeluk erat kedua benda itu. Salju terus
turun, entah turut menangisi atau menemani diriku, bertamu merayakan hati yang
membiru karena takdir.
§
Lelaki dengan gaya borjuis datang
memanggil wanita itu. Wanita itu tersentak. Ia tersenyum menyambut
kedatangannya. Lelaki itu langsung memeluknya. Aku yakin laki-laki itu dalam
keadaan setengah mabuk. Tatapan wanita itu kian redup. Aku masih memandangnya
dari kejauhan. Kapal krem porcelain tengah berpesta memantulkan
cahaya kuning menghalangi lukisan kota di hamparan air sungai. Bulan tetap
duduk di singgasananya, seakan-akan menyaksikan ini semua. Wanita itu kembali
memandangku lekat-lekat. Lelaki dengan gaya borjuis itu tidak
menyadari apapun, ia tetap memandang lurus ke arah kapal pesiar. Mulut wanita
itu bergerak seraya ingin mengucap,
“Frantz!” panggil istriku yang berjalan mendekat.
Apakah ada sesuatu yang terjadi?” tanyanya langsung menyentuh lenganku.
Elle m’a trahi,
Sous vos pieds dansants
Se trovuvent les tombes d’hommes torture`s.
Ainsi la mort rouge re`primande votre joie.
Christine, ce soir j’ai mis le monde a` es pieds.*
Wanita di ujung dermaga itu memandangku nanar,
memantulkan cahaya dari matanya yang berkaca-kaca. Penyesalan tampak jelas
tergambarkan dari matanya.
Aku terus memandangnya. ‘Marilah kita menanggung
rasa kepedihan yang menjalar atas keputusan yang kau ambil. Tidak, Josette. Aku
tidak akan diam tenggelam ke dasar laut hanya untuk menunggu ketidakhadiran
pertolonganmu. Aku selamat dengan caraku sendiri. Perlahan tapi pasti.
Semoga ihwal ini luruh dengan waktu.’ batinku meracau.
Aku berpaling melihat
istriku.
“Bukan apa-apa. Hanya saja pemandangan sungai ini lebih indah dengan kedua sejoli itu berdiri bersama di ujung dek dermaga.” jawabku.
Tanganku
meraih bahu istriku. Kami berbalik arah. Berjalan berdampingan
meninggalkan romansa di ujung dermaga Sungai Rhine.
GLOSARIUM
Bill de Bateau a`
vapeur, bahasa Prancis dari Steamboat Bill,
karya Paul Tremaine.
Marcel Wave, Gaya rambut yang populer pada tahun 1920-an.
Boulervardier, minuman alkohol koktail yang terdiri dari whiski, vermouth dan campari.
E`claire au Chocolat,
Petit fours, Cane`les, kudapan manis khas
Prancis.
Crème de casiss, minuman koktail untuk pencernaan yang terdiri dari campuran vermouth kering
dan blackcurrant.
Un Bonheur vide
au-dela` du monde, bahasa Prancis dari
lagu An Empty Bliss Beyond The World.
Kir, minuman alkohol koktail.
Borjuis, kelas sosial menengah ke atas.
Les Mains d’Orlac, (The Hands of Orlac) buku novel misteri ciptaan Maurice Renard (1920)
Monsieur, bahasa Prancis dari tuan.
Braise, bahasa Prancis dari ember.
*dialog Lon Chaney dari film The
Phantom of the Opera (1925). Artinya, “Dia telah mengkhianatiku. Dibawah tarian
kakimu adalah makam para pria yang disiksa. Demikianlah The Red Death menegur
kegembiraanmu. Christine, malam ini aku menaruh dunia di bawah kakimu.”
Tema : Tragedi
Romansa
Karya : Sabrina Reihanah
Publikasi :
Telah dilombakan dan dibukukan bersama
Diadopsi dari tugas pentigraf "Bulan" dan cerpen "Lembayung". Peringkat I Lomba Cerpen Tingkat Nasional dalam Event "Waktu Indonesia Berkarya" IDN Creation Tahun 2020.
Dawai Pilihan :
https://open.spotify.com/playlist/53NHXHPwvM1bJ54KRejyOR?si=H7sOHB7aS_Gs39P5HLR2Vw
Komentar
Posting Komentar