Rayuan Keluh Untuk Bapak Dari Ibu Pertiwi


 

“Untuk Bapak yang sedang jauh dari jangkauan kami,

Peluk dan cinta kami kirimkan dari tanah yang luas dan berbunga anyelir di pagi hari. Tempat berteduh, tempat berkukuh, dan tempat berkeluh kami. Semoga kelak rasa rindu Bapak terhadap rumah cepat meluap hingga membawa Bapak pulang ke dekapan kami. Karena sekali pun saya Ibu dari anak-anak, kami tetap membutuhkan sosok Bapak untuk memimpin kami. Sekali pun surga berada dekat dengan arah kaki saya melangkah, engkaulah jelmaan sebagian sukma yang hidup beriringan dengan sukma ini. Hingga sekarang di saat kita terpisah, saya akan senantiasa berjalan bersama engkau, mempelajari kehidupan yang terus berubah. Sebagaimana perubahan yang akan saya ceritakan dalam lembar surat ini.

Suatu pagi di tanggal sentosa, bulan damai, dan tahun kebahagiaan. Saya bangun mendapati sinyal dalam tubuh saya mengingatkan tugas yang menunggu bagi seorang Ibu di pagi hari. Saya nyalakan mesin penanak untuk memasak nasi, kompor untuk mendidihkan air, dan mesin cuci untuk mencuci baju bekas pakai kemarin. Seperti Bapak tau, teknologi memang sudah canggih. Semua serba cepat dan tepat. Dengan puas, saya menunggu anak-anak menyelesaikan sarapan sambil menyalakan televisi.

Jarum jam berdetik dengan detak jantungnya yang mulai tak karuan. Televisi itu komat-kamit mendoakan keselamatan. ‘Cobaan apa yang datang di tanggal sentosa, bulan damai, dan tahun kebahagiaan ini?’ Penyiar berita panik hingga kata-kata tidak lagi terkendali. Ketenangan saya buyar setelah mendengar jerit telepon menggema di lorong tanpa henti. Saya mengangkatnya dengan rasa hati-hati. Rasa curiga yang merasuki saya seketika hilang begitu mendengar suara yang berada di seberang, tempat telepon ini berasal.

Anak pertama kita yang sedang mengadu nasib di perguruan tinggi untuk menjadi tabib di dunia ini, meluncurkan kalimat pertanyaan tanpa berbasa-basi. Ia menanyakan kabar saya dan saudara-saudaranya yang seharusnya ia tau akan selalu baik. Pun saya jawab begitu. Suaranya berubah menjadi khawatir. Ketar-ketir mendengar saya menjawab baik dan meminta saya untuk menonton saluran televisi lain. Dengan remote di genggaman, saya mengikuti. Tertulis kata-kata yang berhasil menduakan kepercayaan saya terhadap tanggal sentosa, bulan damai, dan tahun kebahagiaan ini.

Wabah Penyakit Berubah Menjadi Musuh Tak Kasatmata. Itulah judul yang saluran televisi pakai untuk menjelaskan situasi yang sedang terjadi di muka bumi. Bapak tau, kita berdua sudah melewati masa-masa penuh marabahaya sepanjang setapak perjalanan hidup. Melawan penjajah, pengkhianat, dan penipu. Musuh-musuh yang berwujud. Lalu, musuh apalagi ini? Anak-anak berhenti mengunyah roti di mulut. Memandang saya. Menunggu sepatah dua patah kata dari mulut saya untuk menanggapi berita tersebut. Saya tidak berkata banyak, Pak. Sebagai seorang Ibu, dalam tugasnya bukan hanya melindungi namun saya harus mampu meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja.

Berwaktu-waktu kedepannya, di tanggal sejahtera, bulan gigih dan tahun kebahagiaan, berbulan-bulan setelah pertama kali musuh tak terlihat itu menunjukkan jati diri, kepercayaan mulai diuji. Desas-desus kian berdesis dari percakapan para penjaga warung terdekat. Berdebat mengenai kejujuran dan kebohongan di antara sesama. ‘Darimana asalnya? Siapa dalangnya? Kapan berakhirnya?’ Saya memalingkan wajah dan memutuskan pulang. Kembali ke rumah kita, meskipun surau yang dulunya cerah sudah menjelma menjadi bunker, tempat kita berlindung di saat perang dulu.

Ya, Bapak. Kami sedang berada dalam perang. Korban berjatuhan, tabib-tabib berusaha menyembuhkan, wartawan memotret lalu melaporkan, dan para pekerja berusaha mempertahankan pekerjaan. Kami semua pejuang. Sebagai seorang Ibu, dalam tugasnya bukan hanya berjuang melawan musuh yang tak kasatmata ini, namun juga menghalau kegelapan hinggap di rumah, mengajarkan bahwa masih ada terang dalam gelap bunker ini.  Walau hanya secercah cahaya, akan saya regas sepenuh hati untuk menerangi mereka.

Bapak, sejatinya saya menulis surat ini bukan hanya untuk membanggakan tugas dan peran saya selama kepergian engkau. Tapi untuk mengingatkan diri, bahwa ada Bapak untuk berbagi keluh dan peluh hidup ini. Hidup memang tidak hanya suka, duka berhamburan dimana-mana. Dan kita memang tidak akan pernah benar-benar takut, sebelum ketakutan itu berada di depan mata. Ya, Bapak. Hal yang paling saya takutkan terjadi. Pada tanggal besar, bulan gelap dan tahun kesulitan, si bungsu bertemu dengan musuh itu. Ia berjuang melawannya di medan perang, yang bahkan saya sebagai Ibu tidak dapat menemani perjuangannya. Namun saya tetap berjuang, melalui jalur-jalur yang bahkan musuh tak dapat menyentuhnya. Melewati jalan setapak usaha, keyakinan, dan harapan yang tulus dimana musuh itu tak bisa menyentuhnya.

Pada akhirnya perubahan tetap terjadi, Bapak. Dunia tidak pernah sama lagi. Kini kami diperbolehkan keluar dengan kain yang menutupi separuh wajah dan segala macam alat pelindung diri. Ya, Bapak. Berbulan-bulan setelah pergantian kalender, di tanggal elok, bulan kasih, dan tahun kemenangan. Perang ini telah kami menangkan. Harapan mulai terisi. Tabib dari penjuru dunia berhasil menemukan senjata penawar untuk menumpas para musuh! Bersamaan dengan waktu engkau membaca surat ini, si bungsu sedang merayakan ulang tahunnya dengan penuh kemenangan bersama saudara-saudaranya. Sedang saya menenun rindu sambil menatap bunga anyelir yang bermekaran di halaman kita.

Hidup memang terus berubah, Bapak. Tapi tidak untuk saya dan engkau. Sepenuhnya kugantungkan rayu dan keluh saya untuk engkau seorang! Surat ini membuktikan bahwa sejatinya kemenangan ini milik kita bersama. Sebuah kemustahilan untuk melewati semua ini tanpa kekayaan cinta dan harapan saya terhadap engkau, begitu pun sebaliknya. Moga-moga kita dapat secepatnya bertemu, bila tidak, dan ajal saya mendahului ajal engkau. Ketahuilah bahwa relung saya akan selalu berada dekat dengan relung engkau! Pergi dan kembalilah, Bapak! Rapalan doa untuk keselamatanmu menjadi nomor satu. Anak-anak dan saya menunggu kedatanganmu. Selalu.

Bunga tunggal di karang milik engkau seorang,

Pertiwi.”

Ibu Pertiwi melipat kertas yang tak ia sadari dihujani beberapa tetes airmata yang telah jatuh, menjelma bentuk  menjadi sebuah cenderamata khusus. Curahan hati dan pikirannya ia kumpulkan jadi satu. Paham betul ia terhadap kewajiban suaminya di luar sana. Menjaga perbatasan di lautan luas. Menjaga seisi dunia untuk keluarganya. Rasa-rasanya tidak berhak dia mengeluh sebanyak itu pada suaminya. Namun, ia yakin Bapak pasti mengerti. Bahwa beban lebih tangguh bila ditangguhkan bersama. Bahwa keluh lebih ringan bila diringankan bersama. Dimasukkanlah surat itu ke dalam kotak pos terdekat. Seraya Ibu Pertiwi melangkah pergi dari tumpukan surat itu. Menerjang angin yang membawa suratnya semakin jauh.

Setumpuk surat jatuh di atas dek kapal, diberikanlah Bapak sepucuk surat. Surat dari kekasih, sekalipun sudah berubah status menjadi istrinya. 'Dari Ibu Pertiwi'. Dibiarkannya kata-kata mengalir, membasahi wajah, dan membilas rindu Bapak akan rumah. Meleburlah kasih dan sayangnya terhadap pujaan hati, bunga tunggal di karang miliknya seorang. Bapak menguntai senyum di antara debur ombak pasang. Membawanya pulang kembali ke asal.

Karya : Sabrina Reihanah

Publikasi : Telah dilombakan dan dibukukan

Karya Terpilih Lomba Cerpen Kreasindo Fest oleh IDN.Creation Tahun 2021, buku dapat ditemukan di salah satu BookHive Taman Jakarta Selatan.

Dawai Pilihan :

https://open.spotify.com/playlist/6UIWNSN9mVB2kygvy4rmd9?si=-wvXPZqCQPqyZ0y7neijtA 


Komentar

Postingan Populer