Monet, Aku dan Anak Pegawai Negeri Belanda
Jika waktu dapat kukembalikan, perkataan temanku itu
akan kutanggapi dengan lantang, seraya menjaring seluruh kepercayaan diri yang
ada di dalam diriku, lalu berteriak, “Suatu saat nanti, Bram. Tunggu aku disana!”
●
Aku berdiri di depan lukisan yang terpajang dalam acara
galeri seni kotemporer bergengsi di kota Jakarta, tempat Monumen Nasional tanah
airku berdiri. Sesekali orang-orang di sekitarku berhenti untuk sekedar
memandang lukisan di depanku. Lukisan itu tampak bercahaya akibat pendar lampu
kuning yang menyorotnya. Pemandangan
desa yang luluh lantah akibat banjir menjadi objeknya. Gaya lukis yang
digunakan jelas lebih menekan guratan warna dari kuas daripada keindahan
bentuknya1.
Warna hijau-coklat-biru yang mencolok menguasai elemen
lukisan. Pikiranku tetap mencari
celah kesalahan dalam lukisan itu, “Apakah
benar-benar pantas, kau berada disini?” batinku bertanya-tanya. Aku
mengelap kacamataku dengan sapu tanganku. Setelah kacamata tersemat rapi,
mataku memandangi melihat nama pelukis yang tertera di biodata dibawahnya.
“Sudah waktunya, Tuan.” ucap
laki-laki dengan baju panitia sambil berbisik kepadaku. Aku
melihat jam di tanganku. Aku mengangguk dan mengikuti arahannya menuju pusat
acara. Panggung lengkap dengan podium telah dipersiapkan. Adik perempuanku dan
kedua orang tuaku duduk di barisan terdepan. “Kita sambut, pelukis kontemporer
terbaik di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, Tuan Ude!” ucap pembawa
acara dari atas panggung.
Suara tepuk tangan menyambut ramai. Aku berjalan menuju podium. Terlihat Bram, sahabatku, berdiri dari kursinya dengan baju pegawai negeri yang khas untuk memberikan salut kepadaku. Ingatanku mengudara kepada peristiwa asal mula lukisanku tadi. Kembali ke saat pertama kali aku menyambut perkataan yang merubah jalan hidupku.
●
“Sedang
mengecat apa, Mas?” tanya anak kecil di belakangku.
“Melukis
namanya, bukan mengecat!” jawabku judes.
“Melukis
itu di kertas, bukan di kayu triplek!” teriak anak kecil itu.
Anak kecil itu mencibirku dengan tertawa
terbahak-bahak lalu melesat jauh dengan sepedanya. Aku duduk di tembok rumah yang sudah patah di Desa
Gusuran. Kuasku menari di atas kayu triplek yang kuambil secara gratis di antara tumpukan
sampah. Cat yang kupakai hanya mengandalkan sisa tinta spidol yang kucolong dari sekolahku. ‘Mau bagaimana lagi? Daripada beli cat dan
kertas, mending beli beras buat besok!,’. Helaan nafas panjangku sudah tidak terhitung lagi. Seseorang menghampiriku
dari belakang. Aku tersentak.
“Ini minuman pesanannya, Tuan
Ude.” Kata Bram menunduk, menaikkan plastik es jeruk yang ia pegang seakan
menjadi pelayan diriku.
“Tuan? Jika kau bukan temanku,
sudah ku-” ucapku terkejut
setengah mati.
“Memang, apa salahnya latihan jadi
orang kaya?” potong Bram dengan cepat.
‘Latihan jadi
orang kaya? Urusan hidup besok saja masih bikin mulas.’
gerutuku dalam diam menaruh gelas dibawah kakiku. Lukisanku yang tidak ada harganya ini hampir rampung.
Bram menatap lukisanku dengan mata berbinar-binar. Pasti
ia akan memulai omong kosongnya lagi. Aku menghela napas.
“Kau itu cocok jadi pelukis,
Ude. Kalau kau jadi pelukis, berarti kau sebanding dengan Picasso, Pierre
bahkan Monet!” kata Bram sambil tersenyum meyakinkan.
“Apa? Piscok2? Pete? Monyet?” celetuk diriku.
“Ah, sudahlah! Percuma bicara sama triplek! Pura-pura tak dengar saja.
” jawab Bram serius. Kali ini, Bram benar. Aku mendengar jelas ucapannya yang
terang-terangan menyebutkan para seniman ternama dalam seni lukis. Panggilan
Ude yang tersemat di diriku, kujarah diam-diam dari Claude Monet. Seniman favoritku yang
terkenal dengan gaya impresionismenya. Karya-karyanya yang bahkan belum pernah
kupandang langsung dengan mataku sendiri. Aku tetap mengaguminya.
Meski hanya pernah sekali
kulihat di rumah Bram, itupun hanya tergambar buram di buku cerita anak-anak
pemberian ayahnya, seorang pensiunan pegawai negeri Belanda yang sudah tiada. Kalau
dipikir-pikir pekerjaan ayahnya lebih mentereng jika dipamerkan di desaku, padahal
sama-sama pegawai negeri, hanya beda negeri induknya saja.
“Tidak ada salahnya untuk bermimpi, Ude. Tidak ada
salahnya juga mempunyai hidup yang lebih baik dari hidupmu yang sekarang. Aku
saja bermimpi menjadi pegawai negeri seperti ayahku.” ucap Bram sambil
memandangi langit.
Aku meneguk habis es jeruk itu
dengan sekali teguk. Ucapan Bram telah menamparku dengan tangan kosong. Sedari
kecil, aku sadar untuk hidup dengan berisi mimpi di dalamnya adalah hal yang mustahil
dan tidak penting, pun disertai harga yang fantastis. Yang
paling penting adalah bertahan hidup di kerasnya dunia ini. ‘Mimpi itu tidak realistis.’.
“Aku pulang duluan.” ucapku tegas saat beranjak meninggalkan
Bram termenung melihatku pergi. ‘Aku ingin melukis di tempat lain saja.’
batinku.
Sesampainya di rumah, kuhempaskan badanku diatas kasur
anyaman kayu yang sudah lapuk. Sinar
matahari dan angin menerobos masuk lewat lubang di atap. Adikku, Uut menari
dibawah sinar-sinar itu. Uut mengambil lukisan di kayu triplekku itu dan
mengangkatnya ke udara dengan penuh tawa.
Usianya yang masih lima tahun
tentu senang-senang saja dengan kehidupan keluarga kami yang jauh dari
kemewahan. Uut selalu dititipkan ke tetangga sebelah yang cukup baik untuk
menjaganya walau hanya sementara. Sikapnya yang manis dan baik membuatnya
disukai oleh banyak tetangga sekitar. Suasana terasa sejuk. Aku memutuskan untuk memejamkan mataku,
melarutkan realita yang ada didepan mataku.
Tanah bergemuruh, angin berseteru. Sinar matahari meredup. Terdengar suara guntur yang
menggelegar. Hujan turun tanpa permisi. Lubang di atap tidak lagi mengantarkan
kebahagiaan bagi Uut. Ia menangis ketakutan terhadap suara guntur dan dari rumahku
yang tampak sedikit goyang akibat terpaan angin. Uut beranjak menuju diriku menangis dan aku berusaha menenangkannya.
Air
mengucur deras dari lubang yang
semakin membesar. Aku mengambil ember untuk menampung air, namun tidak
berhasil. Hujan deras telah berganti hasil menjadi banjir. Aku mengambil barang
penting dan memasukkannya asal ke baskom. Tak lama, warga setempat keluar berbondong-bondong
pergi menuju balai desa untuk mengungsi karena ketinggian air sudah sama rata
dengan pinggang.
Aku keluar dari rumah dengan menggendong Uut di
punggungku dan baskom besar tertutup terpal yang kutaruh diatas kepalaku. Aku
sedikit beruntung. Pasalnya, rumahku tidak memiliki banyak barang mewah karena
keberadaan televisi, kulkas, penanak nasi dan barang elektronik lain mustahil adanya. Kaki Uut masuk tercelup kedalam air. Aku berjalan maju menerjang banjir.
“Dingin, Mas. Uut mau pulang saja.” ucap Uut dengan
suara lemas.
“Sabar
ya, Uut. Sebentar lagi kita sampai. Pegang Mas erat-erat ya.”
Setelah melawan arus dengan
susah payah, kami tiba di bibir balai desa. Pendopo balai desa telah dikuasai
oleh air banjir. Kami menaiki tangga perlahan menuju lantai dua. Rapalan tangis, doa dan murka terdengar
di seluruh penjuru. Ada yang kehilangan harta benda dan rumahnya, ada juga yang
kehilangan kontak dengan sanak saudaranya. Kami mendapat tempat di dekat balkon.
Kuturunkan Uut dan kulihat pemandangan di hadapanku.
Hanya
ada air yang tumpah ruah dan atap rumah yang menyeruak. Sayup terdengar desas-desus mengenai sebab-sebab yang menjadikan banjir suatu bencana yang tidak
terelakkan. Mataku terus mencari
seseorang. Kutemukan Bram duduk di atas terpal bersama Ibunya. Rupa-rupanya,
buku cerita anak-anak pemberian ayahnya, pensiunan pegawai negeri Belanda itu,
tetap ia peluk erat.
Mata kami saling berpandangan. Ia tersenyum menyapa. ‘Bisa-bisanya masih
tersenyum di keadaan seperti ini.’ batinku.
Aku menunduk. Kutemukan Uut sedang duduk memegang
lukisan kayu triplekku lalu mengulurkannya kepadaku.
Cat tinta spidol di lukisan itu luntur
di beberapa tempat karena terkena rintik hujan. Namun pemandangan Desa Gusuran
masih tergambar jelas. Berhasil bertahan dari basahnya air. ‘Syukurlah aku tidak memakai kertas.’ usapku. Kualihkan
pandanganku ke Bram. Aku tidak tau harus berkata apa. Bram tersenyum mengangguk
seakan mengerti apa yang kupikirkan.
“Mas, berarti kita sudah tidak
punya apa-apa lagi, ya?” tanya Uut menarik bajuku. Aku menyamakan ketinggianku
dengan Uut.
“Masih, Uut. Kita masih memiliki hal-hal yang
akan tidak pernah pergi dari diri kita,” jawabku.
Aku merapihkan kaos dan rambut Uut yang bergerak terbawa
angin. Kupandang Uut lekat-lekat. Setelah Uut
memandangku kembali, aku melanjutkan ucapanku, “Mereka adalah pilihan-pilihan yang kita percayai dan mimpi-mimpi
yang bersemayam di dalamnya.”
GLOSARIUM
1 Impresionisme.
2 Pisang
goreng yang berisi coklat di dalamnya.
Karya : Sabrina Reihanah
Publikasi : Telah dilombakan dan dibukukan
Top 25 International Short Story Competition Tahun 2020 oleh
Interpedia.id
Dawai Pilihan :
https://open.spotify.com/playlist/4Q7JJ4KWEfexgP4bYM63tT?si=MUsWI1oWQs68wnnWuYcvIQ
Komentar
Posting Komentar