Monet, Aku dan Anak Pegawai Negeri Belanda

 



Jika waktu dapat kukembalikan, perkataan temanku itu akan kutanggapi dengan lantang, seraya menjaring seluruh kepercayaan diri yang ada di dalam diriku, lalu berteriak, “Suatu saat nanti, Bram. Tunggu aku disana!”

Aku berdiri di depan lukisan yang terpajang dalam acara galeri seni kotemporer bergengsi di kota Jakarta, tempat Monumen Nasional tanah airku berdiri. Sesekali orang-orang di sekitarku berhenti untuk sekedar memandang lukisan di depanku. Lukisan itu tampak bercahaya akibat pendar lampu kuning yang menyorotnya. Pemandangan desa yang luluh lantah akibat banjir menjadi objeknya. Gaya lukis yang digunakan jelas lebih menekan guratan warna dari kuas daripada keindahan bentuknya1.

Warna hijau-coklat-biru yang mencolok menguasai elemen lukisan. Pikiranku tetap mencari celah kesalahan dalam lukisan itu, “Apakah benar-benar pantas, kau berada disini?” batinku bertanya-tanya. Aku mengelap kacamataku dengan sapu tanganku. Setelah kacamata tersemat rapi, mataku memandangi melihat nama pelukis yang tertera di biodata dibawahnya.

“Sudah waktunya, Tuan.” ucap laki-laki dengan baju panitia sambil berbisik kepadaku. Aku melihat jam di tanganku. Aku mengangguk dan mengikuti arahannya menuju pusat acara. Panggung lengkap dengan podium telah dipersiapkan. Adik perempuanku dan kedua orang tuaku duduk di barisan terdepan. “Kita sambut, pelukis kontemporer terbaik di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, Tuan Ude!” ucap pembawa acara dari atas panggung.

Suara tepuk tangan menyambut ramai. Aku berjalan menuju podium. Terlihat Bram, sahabatku, berdiri dari kursinya dengan baju pegawai negeri yang khas untuk memberikan salut kepadaku. Ingatanku mengudara kepada peristiwa asal mula lukisanku tadi. Kembali ke saat pertama kali aku menyambut perkataan yang merubah jalan hidupku.

“Sedang mengecat apa, Mas?” tanya anak kecil di belakangku.

“Melukis namanya, bukan mengecat!” jawabku judes.

“Melukis itu di kertas, bukan di kayu triplek!” teriak anak kecil itu.

Anak kecil itu mencibirku dengan tertawa terbahak-bahak lalu melesat jauh dengan sepedanya. Aku duduk di tembok rumah yang sudah patah di Desa Gusuran. Kuasku menari di atas kayu triplek yang kuambil secara gratis di antara tumpukan sampah. Cat yang kupakai hanya mengandalkan sisa tinta spidol yang kucolong dari sekolahku. ‘Mau bagaimana lagi? Daripada beli cat dan kertas, mending beli beras buat besok!,’. Helaan nafas panjangku sudah  tidak terhitung lagi. Seseorang menghampiriku dari belakang. Aku tersentak.

“Ini minuman pesanannya, Tuan Ude.” Kata Bram menunduk, menaikkan plastik es jeruk yang ia pegang seakan menjadi pelayan diriku.

“Tuan? Jika kau bukan temanku, sudah ku-” ucapku terkejut setengah mati.

“Memang, apa salahnya latihan jadi orang kaya?” potong Bram dengan cepat.

‘Latihan jadi orang kaya? Urusan hidup besok saja masih bikin mulas.’ gerutuku dalam diam menaruh gelas dibawah kakiku. Lukisanku yang tidak ada harganya ini hampir rampung. Bram menatap lukisanku dengan mata berbinar-binar. Pasti ia akan memulai omong kosongnya lagi. Aku menghela napas.

“Kau itu cocok jadi pelukis, Ude. Kalau kau jadi pelukis, berarti kau sebanding dengan Picasso, Pierre bahkan Monet!” kata Bram sambil tersenyum meyakinkan.

“Apa? Piscok2? Pete? Monyet?” celetuk diriku.

“Ah, sudahlah! Percuma bicara sama triplek! Pura-pura tak dengar saja. ” jawab Bram serius. Kali ini, Bram benar. Aku mendengar jelas ucapannya yang terang-terangan menyebutkan para seniman ternama dalam seni lukis. Panggilan Ude yang tersemat di diriku, kujarah diam-diam dari Claude Monet. Seniman favoritku yang terkenal dengan gaya impresionismenya. Karya-karyanya yang bahkan belum pernah kupandang langsung dengan mataku sendiri. Aku tetap mengaguminya.

Meski hanya pernah sekali kulihat di rumah Bram, itupun hanya tergambar buram di buku cerita anak-anak pemberian ayahnya, seorang pensiunan pegawai negeri Belanda yang sudah tiada. Kalau dipikir-pikir pekerjaan ayahnya lebih mentereng jika dipamerkan di desaku, padahal sama-sama pegawai negeri, hanya beda negeri induknya saja.

            “Tidak ada salahnya untuk bermimpi, Ude. Tidak ada salahnya juga mempunyai hidup yang lebih baik dari hidupmu yang sekarang. Aku saja bermimpi menjadi pegawai negeri seperti ayahku.” ucap Bram sambil memandangi langit.

Aku meneguk habis es jeruk itu dengan sekali teguk. Ucapan Bram telah menamparku dengan tangan kosong. Sedari kecil, aku sadar untuk hidup dengan berisi mimpi di dalamnya adalah hal yang mustahil dan tidak penting, pun disertai harga yang fantastis. Yang paling penting adalah bertahan hidup di kerasnya dunia ini. ‘Mimpi itu tidak realistis.’.

“Aku pulang duluan.” ucapku tegas saat beranjak meninggalkan Bram termenung melihatku pergi. ‘Aku ingin melukis di tempat lain saja.’ batinku.

Sesampainya di rumah, kuhempaskan badanku diatas kasur anyaman kayu yang sudah lapuk. Sinar matahari dan angin menerobos masuk lewat lubang di atap. Adikku, Uut menari dibawah sinar-sinar itu. Uut mengambil lukisan di kayu triplekku itu dan mengangkatnya ke udara dengan penuh tawa.

Usianya yang masih lima tahun tentu senang-senang saja dengan kehidupan keluarga kami yang jauh dari kemewahan. Uut selalu dititipkan ke tetangga sebelah yang cukup baik untuk menjaganya walau hanya sementara. Sikapnya yang manis dan baik membuatnya disukai oleh banyak tetangga sekitar. Suasana terasa sejuk. Aku memutuskan untuk memejamkan mataku, melarutkan realita yang ada didepan mataku.

Tanah bergemuruh, angin berseteru. Sinar matahari meredup. Terdengar suara guntur yang menggelegar. Hujan turun tanpa permisi. Lubang di atap tidak lagi mengantarkan kebahagiaan bagi Uut. Ia menangis ketakutan terhadap suara guntur dan dari rumahku yang tampak sedikit goyang akibat terpaan angin. Uut beranjak menuju diriku menangis dan aku berusaha menenangkannya.

            Air mengucur deras dari lubang yang semakin membesar. Aku mengambil ember untuk menampung air, namun tidak berhasil. Hujan deras telah berganti hasil menjadi banjir. Aku mengambil barang penting dan memasukkannya asal ke baskom. Tak lama, warga setempat keluar berbondong-bondong pergi menuju balai desa untuk mengungsi karena ketinggian air sudah sama rata dengan pinggang.

Aku keluar dari rumah dengan menggendong Uut di punggungku dan baskom besar tertutup terpal yang kutaruh diatas kepalaku. Aku sedikit beruntung. Pasalnya, rumahku tidak memiliki banyak barang mewah karena keberadaan televisi, kulkas, penanak nasi dan barang elektronik lain  mustahil adanya. Kaki Uut masuk tercelup kedalam air. Aku berjalan maju menerjang banjir.

            “Dingin, Mas. Uut mau pulang saja.” ucap Uut dengan suara lemas.

            “Sabar ya, Uut. Sebentar lagi kita sampai. Pegang Mas erat-erat ya.”

Setelah melawan arus dengan susah payah, kami tiba di bibir balai desa. Pendopo balai desa telah dikuasai oleh air banjir. Kami menaiki tangga perlahan menuju lantai dua. Rapalan tangis, doa dan murka terdengar di seluruh penjuru. Ada yang kehilangan harta benda dan rumahnya, ada juga yang kehilangan kontak dengan sanak saudaranya. Kami mendapat tempat di dekat balkon. Kuturunkan Uut dan kulihat pemandangan di hadapanku.

            Hanya ada air yang tumpah ruah dan atap rumah yang menyeruak. Sayup terdengar desas-desus mengenai sebab-sebab yang menjadikan banjir suatu bencana yang tidak terelakkan. Mataku terus mencari seseorang. Kutemukan Bram duduk di atas terpal bersama Ibunya. Rupa-rupanya, buku cerita anak-anak pemberian ayahnya, pensiunan pegawai negeri Belanda itu, tetap ia peluk erat.

Mata kami saling berpandangan. Ia tersenyum menyapa. Bisa-bisanya masih tersenyum di keadaan seperti ini.batinku. Aku menunduk. Kutemukan Uut sedang duduk memegang lukisan kayu triplekku lalu mengulurkannya kepadaku.

Cat tinta spidol di lukisan itu luntur di beberapa tempat karena terkena rintik hujan. Namun pemandangan Desa Gusuran masih tergambar jelas. Berhasil bertahan dari basahnya air. ‘Syukurlah aku tidak memakai kertas.’ usapku. Kualihkan pandanganku ke Bram. Aku tidak tau harus berkata apa. Bram tersenyum mengangguk seakan mengerti apa yang kupikirkan.

“Mas, berarti kita sudah tidak punya apa-apa lagi, ya?” tanya Uut menarik bajuku. Aku menyamakan ketinggianku dengan Uut.

“Masih, Uut. Kita masih memiliki hal-hal yang akan tidak pernah pergi dari diri kita,” jawabku.

Aku merapihkan kaos dan rambut Uut yang bergerak terbawa angin. Kupandang Uut lekat-lekat. Setelah Uut memandangku kembali, aku melanjutkan ucapanku, “Mereka adalah pilihan-pilihan yang kita percayai dan mimpi-mimpi yang bersemayam di dalamnya.”

GLOSARIUM

1 Impresionisme.

2 Pisang goreng yang berisi coklat di dalamnya.

 

Karya : Sabrina Reihanah

Publikasi : Telah dilombakan dan dibukukan

Top 25 International Short Story Competition Tahun 2020 oleh Interpedia.id

Dawai Pilihan :

https://open.spotify.com/playlist/4Q7JJ4KWEfexgP4bYM63tT?si=MUsWI1oWQs68wnnWuYcvIQ


Komentar

Postingan Populer