Kerlip Bintang Kutub Utara



        Sudah lebih dari tiga puluh hari aku melakukan perjalanan melintasi benua hingga sampai di wilayah Kanada. Berbekal tas besar menempel di punggung, beberapa kaleng berisi uang, dan makanan yang cenderung pas-pasan. Aku tidak mengira negara yang terkenal dengan sirup maple ini menyewakan mobil dengan harga fantastis. Alhasil, aku harus menggunakan satu-satunya transportasi yang kumiliki, yaitu kedua kakiku. Sementara hujan turun dengan ramai, kuputuskan untuk meruntuhkan semangatku dan meneduh di minimarket.

Aku mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Bukannya tanpa sebab, temanku yang satu ini adalah penolong di saat dingin menyergap. Walau kerjanya memang kurang efektif dibandingkan dengan penghangat ruangan, tapi hanya ia yang kumiliki. Lagipula kerjanya cukup baik untuk menjadi alat penghitung waktuku untuk beristirahat. Beristirahat dan mengumpulkan 'diri untuk tidak menyerah dalam perjalanan ini. ‘Perjalanan untuk menemukannya’, batinku. Rintik hujan membiarkan petikor1 dan asap rokok menyatu. Menyeruak bersama di udara.

        “Bukankah ini tidak masuk akal?”

        Aku tersentak. Kalimat tanya itu keluar dari mulut perempuan yang tanpa kusadari berdiri bersandar ke kaca minimarket di sebelahku seraya meminum sesuatu. Gaya pakaian hippie2 dan kalung asabikeshiinh3 yang mencolok menyadarkanku bahwa ia berbeda dari perempuan yang pernah kutemui. Perempuan yang cukup unik.

        “Maksudku, siapa yang menyukai perjalanan yang sudah tidak masuk akal ini ditambah dengan hujan lebat?” lanjut perempuan itu mendekati tempatku bersandar. Aku terdiam.

        “Kau benar-benar irit bicara. Kalau begitu, aku pergi dulu. Temanku sudah tidak sabar menyentuh tanah Alaska.” ucap Stella berjalan menuju mobil van putih bertuliskan secara asal ‘Aku Akan Mengelilingi Dunia’ dengan warna merah yang mencolok di antara warna putih vannya. Ditambah dengan tulisan ‘Boleh menumpang jika kau berhasil bicara denganku!’. Aku mengambil keputusan dengan cepat.

        “Bolehkah aku menumpang? Maksudku, hanya sampai Alaska.” tanyaku gugup.

  Stella mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Senyuman terpahat. “Masuklah!” teriaknya. Aku membuang rokok yang habis itu dan membawa tas punggungku masuk ke dalam van. Tempat duduk kosong berada di samping kemudi. Ia bernyanyi sepanjang perjalanan sementara menerobos kabut dan hujan menuju bentala4 Alaska.

         "Sirius, apa yang ingin kau lakukan saat kau dewasa nanti?”

        Tanya seorang perempuan yang melihatku dengan sungguh-sungguh dibalik tempat tidurnya. Waktu berubah dan berdetak dengan keras. Jantungku berdegup dengan cepat. Sesak menjemput seolah inilah waktu penjemputan ajalku. Aku berusaha menggapainya, namun ia semakin jauh ditelan oleh ruang dan waktu. Bagai petir menghampiri diriku, mataku terbuka dengan rasa terkejut menguasai diriku.

        “Kau tertidur tidak lama setelah kita memulai perjalanan. Kau pasti sangat kelelahan. Apa kau baik-baik saja?” tanyanya sedikit khawatir melihatku yang berusaha mengatur napas,

        “Tidak apa-apa.” jawabku lagi-lagi singkat. Perlahan kesadaranku mulai kembali. Stella melanjutkan kegiatannya, menyetir dengan nyanyian yang lantang dan sedikit memekik. Sesekali ia membuka jendela menyapa pejalan dan membagikan senyumannya. Aku baru menyadari bahwa ternyata berkendara dengan dirinya tidak seburuk perkiraanku. Terlepas dengan mobil van yang ia tata sedemikian rupa penuh dengan beberapa barang yang tidak biasa; kain mandala5, berbagai bentuk lilin, dan botol-botol kaca kecil berisi tanah yang diberi nama. Ia adalah teman yang cukup menyenangkan. Aku memandang isi mobilnya dengan tidak habis pikir.

        “Ah, botol-botol itu berisi tanah dari negara-negara yang kukunjungi. Mimpiku adalah mengelilingi dunia mencari kebebasan dan kekuasaan. Kebebasan untuk hidup sesuai dengan keinginanku dan kekuasaan atas seluruh tanah di dunia ini.” jelas Stella melihat botol kacanya.

  Aku berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskannya. Bukan perkara yang mudah untuk menjawab pertanyaan yang aku sendiri tidak mengetahui jawabannya. Kami melewati papan perbatasan Hyder-Stewartmenjadi penyambut kami di atas Alaska. Aku memutuskan untuk diam sementara Stella memberhentikan van dan beranjak keluar. Setelah mengambil beberapa foto, Stella kembali masuk ke dalam mobil.

        “Entahlah, aku” ucapku ragu.

    “Apapun itu, pastikan kau hidup dengan penuh dan menikmatinya.” Potongnya menanggapiku dengan tidak acuh.

    Ucapannya membuatku bertanya-tanya. Apa aku menikmati hidupku yang sekarang? Kehidupan yang tak tentu arah dan hanya dipenuhi oleh bayangan kabur yang berusaha aku gapai. Untuk berapa lama, kami terdiam. Aku mulai membuka obrolan.

        “Karena kau terlihat menyedihkan-dalam-artian-baik. Lagipula, tidak ada perjalanan yang menyenangkan jika dilakukan sendirian.” jawabnya menatapku dengan sungguh-sungguh.

        Stella memasukkan kaset yang bertuliskan Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band7 ke dalam mulut radio dan menekan tombol mulai. Lagu Strawberry Fields Forever karya band The Beatles mulai mengalun. Tak disangka, perbincangan mulai mengalir tanpa ada dinding penghalang. Kami singgah ke beberapa titik, membeli beberapa makanan tambahan dan akhirnya sampai pada destinasi kami, kota Fairbanks. Kami juga bercengkerama dengan penduduk lokal dan mengunjungi rumah mereka.

        Malam tentu datang tanpa peringatan. Alaska kembali ke pangkuan sunyi alamnya. Kesunyian itu mempersilahkan diriku untuk menyadari keindahannya dan menikmatinya. Aku duduk sendirian di dekat mobil van. Memandangi bintang-bintang di langit dengan buku yang kupegang erat. Bintang Polaris menjadi titik bidik mataku.

        Cahaya yang terang sama seperti bintang lainnya tidak membuatku lengah untuk menemukannya. Perbedaannya adalah, letak Polaris akan selalu sama. Terus menerangi bumi tanpa pernah meninggalkan posisinya. ‘Polaris tidak pernah meninggalkan Alaska.’ adalah salah satu tulisan dari buku yang kugenggam. Ingatanku membawaku kembali, membelah waktu, menuju detik-detik aku melepaskan sosok dibalik kalimat itu.

        “Sirius, apa yang ingin kau lakukan saat kau dewasa nanti?”

        Alaska bertanya kepadaku dengan mata penuh pengharapan bahwa aku mengetahui jawaban dari ucapannya. Aku mengangkat bahu dan mulai melakukan pekerjaanku; mencoba menyuapinya satu sendok makanan dari samping ranjang rumah sakit ini.

      “Aku baru mau makan setelah kau menjawabnya.” ucapnya dengan cemberut. Upaya terakhir telah ia gunakan. Sekarang tidak ada pilihan lain bagiku selain menjawab pertanyaannya.

     “Menjadi pekerja kantoran atau perusahaan? Penjaga perpustakaan? Entahlah.” jawabku tidak yakin.

        “Sirius, semua itu membosankan! Kecuali satu hal. Bagian menjadi penjaga perpustakaan.” Ia tertawa dengan lepas lalu mengambil buku favoritnya yang berjudul 1001 Langkah Menuju Alaska. “Keinginanku hanya satu. Aku akan menemukan bintang Polaris!” sambil menunjukkan ilustrasi mimpinya dari buku itu.

        “Hanya itu? Bukannya itu lebih membosankan dari apa yang akan kulakukan nanti?” jawabku tersenyum mengejek.

     “Baiklah, bagaimana kalau kita buktikan bersama-sama? Kita akan pergi bersama dan membandingkannya. Jika salah satu dari kita menang, maka kita harus menuruti keinginan orang tersebut. Janji?” tanyanya dengan jari kelingking mengudara.

        “Janji.”

    Seperti daun yang jatuh dan tidak membenci angin yang menjatuhkannya. Seperti akhir cerita yang kita ketahui betul jalan ceritanya. Selang beberapa minggu kemudian, jari kecilnya yang pernah bertaut sumpah dengan jariku itu menjuntai kaku disamping kasur yang telah ia tiduri di rumah sakit berbulan-bulan lamanya. Alaska meninggalkan diriku, buku favoritnya dan janji kami yang kekal abadi dalam kehidupan, pun kematian.

        Realita kembali hadir dalam desiran salju yang berjatuhan tidak begitu banyak dan turun perlahan. Sehingga tidak menghalangi sasaran penglihatanku. Bintang Polaris. Tulisan “Polaris tidak pernah meninggalkan Alaska” tercatat dalam buku favorit milik Alaska terbuka dalam genggamanku. 'Kau menang, Alaska.' batinku.

        Janji itu masih tercatat jelas dalam prasasti kehidupanku, sekalipun tanpa dirinya. Entah apa yang ada dalam pikiranku, aku meninggalkan rumah dan menuju Alaska untuk membantunya menemukan bintang Polaris. Sekarang aku berhasil menuntaskan apa yang harus kulakukan. Namun ada satu hal yang mengganggu diriku. Ada bagian yang hilang dari perjalanan ini. Dari janji kami. Dari hidup ini. Aku menutup buku dengan judul 1001 Langkah Menuju Alaska itu. Secarik kertas melayang dari buku dan menyentuh sepatuku.

      Tanganku meraih kertas itu dan membaca tulisan di dalamnya lekat-lekat. Air mata jatuh beriringan dengan salju yang menempel di secarik kertas itu. Aku segera memandang Polaris dengan mata tidak percaya. Sepotong kertas ini akhirnya melengkapi bagian yang hilang dari perjalanan, janji dan hidup ini. “Perlu sejauh inikah untuk menemukan semua ini?” tanyaku sendiri. Senyum tidak kuasa tergurat dari dalam diriku. Aku kembali menuju rumah penduduk.

    “Aku menemukannya. Mimpiku.” kepada Stella yang sibuk memasak bersama.

     “Apa mimpimu itu?” tanyanya dengan penasaran. Aku memandang pantulan cahaya Aurora Borealis yang bersinar di atas kopi hitam milikku. Titik-titik berkerlip di antaranya. Kerlip yang kutemukan membawaku kepada perjalanan yang baru. Stella yang menunggu jawabanku. Ingatanku kembali mengulang isi dari sepotong kertas kecil itu. Aku membuka suara.

     “Apa mimpimu itu?” tanyanya dengan rasa penasaran.

    Aku memandang pantulan cahaya Aurora Borealis yang bersinar di atas kopi hitam milikku. Titik-titik berkerlip di antaranya. Kerlip yang kutemukan membawaku kepada perjalanan yang baru. Stella yang menunggu jawabanku. Ingatanku kembali mengulang isi dari sepotong kertas kecil itu. Aku membuka suara.

    “Aku akan terus mencarinya. Perjalanan ini belum selesai karena perjalanan ini baru saja dimulai." jawabku.

    Hatiku bergumam, menguatkan diri.  'Keberanian. Keberanian untuk bermimpi besar di antara milyaran mimpi di dunia ini dan mendedikasikan hidupku dalam perjalanan meraihnya.' Sekarang aku mengerti Alaska. Kemenanganmu akan kubuktikan keberhasilannya.

      Untuk Sirius,

      Beranilah untuk bermimpi! Aku menunggumu di antara Polaris dan milyaran cahaya Kerlip Bintang Kutub Utara!

       Yang terbaik dan yang paling membosankan, Alaska.

 

GLOSARIUM

Aroma bau hujan menyentuh tanah.

Gaya pakaian dengan khas bohemian dan bebas yang popular di tahun 1960-an.

Kalung berbentuk jaring laba-laba dan bulu untuk menghalau roh jahat dan mimpi buruk.

Bumi, tanah.

Kain dengan corak lingkaran dengan berbagai macam warna.

6 Perbatasan Kanada dengan Alaska, Amerika Serikat.

7 Album musik band The Beatles yang dirilis tahun 1967.

Tema : Impian


Karya : Sabrina Reihanah

Publikasi : Telah dilombakan

Peringkat 250 Besar Tingkat Nasional (116) Lomba Menulis Cerpen Impian Event Inspirasi Pena Tahun 2021.

Dawai Pilihan :

https://open.spotify.com/playlist/5Qa6RY0oitWQuWzhhTY8zK?si=Jd2COkwTSpqrXXoU31twbQ


            

 




Komentar

Postingan Populer