Orkes Gandrungan
Aku berjalan
mengendap-endap sambil mengaduk kopi di tanganku. Niatku untuk menyesap kopi
petang ini, akhirnya terlaksana. Tapi bisa mampus aku kalau
sampai ketahuan Ibu Suri, istri pemilik rumah ini, yang sekaligus menjabat
menjadi ibuku. Seperti yang kuperkirakan, samar terdengar derap langkah di
belakangku. Perasaan tidak enak menguasaiku. Terbayang sudah sapu yang melayang
bebas di udara. Suara Ibu Suri
menggelegar, “ Bukannya bantu orang tua, malah bikin kopi-!” Aku meneguk habis
kopi itu dan berlari keluar rumah dengan lidah menjulur kepanasan. Sampailah
aku di warteg1 yang paling pitarah2 di
kampungku.
Etalasenya sudah terlihat seperti
akuarium kosong. Mungkin karna lauk-pauknya sudah dijarah habis-habisan
oleh para pekerja proyek. Aku menuangkan teko air bertempelkan kata
“Gratis” ke gelasku. Mataku mulai menjelajahi sekitar. Pemandangan di luar warteg kali
ini berbeda. Biasanya pemandangan rumah Bang Bonar hanya dibingkai dengan
gedung proyek. Kali ini terdapat orkes3 yang
parkir di depan rumah Bang Bonar. Bersiap-siap untuk konser
mereka. Aku kembali ke sudut favoritku.
Kumasukkan kaset yang menampakkan wajah Iwan Fals
bertuliskan Orang Gila4 dari kotak pelindung dengan
hati-hati ke dalam radio yang sudah using. Senandung lagu melantun empuk di
telingaku seraya aku kembali ke posisiku. Selang berapa menit, tangan
besar dan panjang menyentuh pundakku. Aku tersentak. Tangan itu tak lain dan tak bukan adalah tangan si
bendoro warteg alias Pak Soer. Langsung kutarik kursi plastik
di sebelahku untuk ia duduki.
“Es-nya kurang tidak, Dik? Kalau belum ambil saja
di belakang. Sekalian masak mi instan, bayarnya kan bisa
kapan-kapan. Gayamu, Dik. Kayak orang baru saja!” ucapnya melirik gelas di depanku.
“Tidak usah, Pak. Kan utang yang kemarin saja belum
lunas.” jawabku.
Pak Soer tertawa
renyah. Aku tersenyum. Kami hanyut dalam diam. Memang warteg ini selalu menjadi
tempatku untuk kabur dari ruwetnya situasi rumah. Pak Soer paham
betul dengan perangai Ibu Suri. Rupa-rupanya, perangai Ibu Suri sudah tercermin
sejak ia masih kecil dengan julukan Suri si Macan Penjaga
Kampung. Aku tidak terlalu terkejut ketika mendengarnya. Ditambah dengan
masa depan kampungku sekarang, kepekaannya melonjak tajam. Orang
dewasa memang selalu memiliki beban pikiran yang lebih.
“Kampung kita jadi
terasa sepi, ya? Teman-temanmu sudah pindah semua?” tanya Pak Soer sambil
menatap lurus menembus kaca warteg.
“Iya, Pak. Sudah
pindah ke rumah susun atau ngontrak di tempat
lain.”
“Memang ya, mau dipertahankan juga, kampung kita
akan tetap rata dengan tanah.” ucapnya.
Pak Soer menghela napas. Tangannya bergentayangan
di atas meja mengambil gelas teh di dekatnya. Ia menegaknya dalam-dalam hingga
habis dan puas. Diistirahatkan lehernya yang sudah longgar. Kedua matanya terpejam
sambil melipat tangan di atas perutnya.
Aku tak pernah bisa menebak isi pikiran Pak Soer. Dalam diamnya, seperti ada jendral didalamnya yang punya siasat rahasia menghadapi
masa depan kampungku. Kualihkan perhatianku dengan
mengetuk-ngetuk radio yang suaranya mulai gagap. Pak Soer bangun dan menyublim kembali ke singgasananya
di belakang etalase.
Detik terus berjatuhan membela malam. Malam ini, gedung proyek dibelakang rumah Bang
Bonar kalah terang dibanding dengan kereta orkes yang
dililit lampu warna-warni, berpendar menyinari jalan kampungku. Biduan mulai menyanyikan lagu-lagu dangdut komersil yang dikuasai. Aku dan Pak Soer duduk manis di kursi bambu depan warteg.
Bang Bonar menari dengan lincah bersama tetangga,
musik dan biduan. Istrinya yang sedang
hamil tua terlihat mengintip dari jendela dengan raut muka merengut
pasrah. Mungkin karna
malu dan berang, ia undur diri dari jendela itu. Sesaat kemudian, Bang Bonar
menghampiri kami dengan terhuyung-huyung dan duduk di sebelah kami.
“Pak Soer, masa diam dan duduk saja, sih? Kalah
sama tetangga lain. Kalau kau yang di sebelah memang darah muda, maklum sudah beda
zaman seleranya.” tanya Bang Bonar sambil tertawa terbahak-bahak menunjuk
diriku.
“Lain waktu saya
ikut. Bisa-bisa yang lain terkesima melihat gual-gail saya.”
tolak Pak Soer dengan halus.
“Tapi tidak ada lain waktu
lagi, Pak.” jawab Bang Bonar berubah gusar.
Kami semua terdiam. Ucapan Bang Bonar benar adanya.
Memang tidak ada lain waktu lagi. Jatuh tempo untuk pindah dari kampung tinggal
hitungan minggu. Warteg Pak Soer memang masih buka
karena sudah berubah wujud menjadi kantin pekerja proyek. Tetangga-tetangga di sekitar
sudah mulai mengosongkan rumah mereka, bahkan banyak yang sudah berkeluarga
dengan wilayah baru. Bang Bonar akhirnya membuka suara kepada kami.
“Kekuatan saya kalah banding dengan
para penguasa bertahta gedung itu, Pak. Seandainya saja saya orang kaya yang
bersenjata uang, bukan cuma otot, maka ini semua tidak akan terjadi. Kampung
ini bisa berumur panjang sama seperti Pak Soer. Sekalipun saya memohon terhadap
mereka; mata, telinga, dan mulut mereka tertutup mengunci.” Bang Bonar
menunduk, ia menudungi matanya.
Aku dan Pak Soer termenung. Bang Bonar memang
memiliki tindak-tanduk yang tak lazim, tapi kalau boleh diukur, ‘cintanyalah
yang paling besar terhadap kampung ini’. Bang Bonar adalah orang yang paling gigih menentang adanya penggusuran
kampung. Namun, melihat Bang Bonar kalah suara dengan pimpinan proyek, akhirnya
satu persatu orang mulai meninggalkan kampung ini. Pak Soer menghentikan
keheningan.
“Berhentilah
berandai-andai, Bonar. Kita ini memang orang miskin. Tapi jangan kita menjadi pengemis di depan mereka.
Tidak baik menyalahkan mereka ataupun dirimu sendiri. Jika mereka
menginginkan kita pergi, maka kita akan pergi dengan terhormat.”
“Nikmatilah hidupmu, Bonar. Hidup terlampau singkat jika hanya bernas5 penyesalan
seumur hidupmu. Telanlah garam hidup itu. Ada nyawa, ada rezeki6. Simpan bengukmu untuk perihal anak-istrimu. Tanah tidak kau bawa mati,
tidak pula kau hidupi.” ucap Pak Soer.
Tatapan Pak Soer beranjak
ke rumah Bang Bonar yang berbingkai gedung proyek. Kami semua terdiam. Tak lama terdengar suara
dobrakan pintu dari dalam rumah Bang Bonar. Istrinya keluar ketar-ketir menuju
pagar. Tangan kanannya menyangga perut.
“Bonarudin Sitompul, sini kau! Anak kau akan segera lahir!”
Istrinya terduduk lemas di bibir aspal. Bang Bonar segera berlari mengangkat istrinya dengan susah payah. Tetangga di sebelah yang sedang
memindahkan barang-barangnya ke dalam mobil pick-up menghentikan
aktivitasnya. Istrinya segera dinaikkan ke atas mobil dan berangkat ke
puskesmas terdekat. Meski begitu, orkes tetap berjalan demi
para penikmatnya.
Aku memutuskan pulang
dan pamit ke Pak Soer dengan meninggalkan kasbon sebagai salam
kepulanganku. Kudapan Pak Soer memang tidak bisa aku hiraukan begitu saja. Lampu
temaram dan poster-poster proyek bergerak pelan, seperti malu-malu mengiringiku
pulang. Sesampainya di
rumah, aku duduk di kursi teras dengan suara orkes sebagai
teman berdiskusi.
Di dalam rumah Ibu Suri dan Bapak sedang menonton
acara gosip di televisi. Sesekali Ibu Suri memperbaiki antena dan berteriak
mengecam suara orkes yang bertubrukan dengan suara semut dari
televisi. Mata sayuku menonton pagar tua di depanku yang dijalari tumbuhan
rambat. Aku mulai berdialog dengan batin.
Kampung kami akan mencapai penghujung usianya sebentar
lagi. Rumah dan jalan hanya akan menjadi hamparan permadani keramik dari sebuah
gedung megah. Terlepas dan hempas dari genggaman para penempatnya yang dahulu.
Seperti daun tua yang jatuh terbawa angin dari pohon induknya. Seperti mainan masa
kecilku yang tidak lagi kulihat keberadaannya. Meski begitu, kehidupan yang
mufakat dengan ketidakadilan ini akan tetap berjalan sebagaimana
seharusnya. Bergulir perlahan dengan mimpi-mimpi masa kecilku yang tidak ada artinya lagi di hadapan mesin dan beton itu.
Aku sadar betul betapa gandrungnya Bang Bonar
terhadap orkes dan kampung ini. Namun, kedua hal itu kalah
telak terhadap keselamatan istri dan anaknya. Aku berandai-andai. Mungkin arti
rumah sejatinya bukanlah tempat, melainkan dimana keberadaan orang yang kita
cintai. Dengan penuh keikhlasan, rasa cinta akan tetap tumbuh meski manusia
meninggalkan ruang dan waktu. Pada akhirnya, hidup akan kekal beradaptasi seperti
apa yang orkes itu lakukan tiap harinya.
Mencari penikmat baru untuk terus menghidupinya.
“Persetan!” Lamunanku terhenti dengan
suara Ibu Suri memaki. Mungkin karena tidak kuat lagi mendengar suara semut
dari televisi yang tidak ada hentinya. Bapak terdengar menghela napas pelan.
Aku mulai bertanya-tanya pada sunyi yang ramai. Apakah menjadi tua harus
senahas ini? Televisi yang rusak, rumah yang mau digusur, dan komplet dengan
anak yang malas membantunya. Masa depanku yang satu ini tidak dapat dihindari
rupanya. ‘Orang dewasa memang akan selalu memiliki beban
pikiran yang lebih.’
Glosarium :
1Warung Tegal, usaha tempat makan dengan harga terjangkau
2pendahulu, leluhur
3kereta karaoke keliling menggunakan pengeras
musik
4album musik Iwan Fals yang rilis tahun 2002.
5penuh, berisi
6peribahasa yang memiliki arti selama masih hidup tentu akan mendapatkan
rezeki
Tema : Keikhlasan, Kehidupan
Karya : Sabrina Reihanah
Dawai Pilihan :
https://open.spotify.com/playlist/67RKZy3PfxBBlMk3SJFpm2?si=954PKy3ARHKR1YbuRMVB_Q
Komentar
Posting Komentar